Salat yang Menyenangkan: Renungan Isra Mi'raj
Ketika
masuk ke dalam kosan, dia langsung mendekati gawai yang tergeletak di pojok
ruangan, menatap kemudian sibuk mengotak-atik. Beberapa waktu kemudian, dia
mengambil headset lalu ngobrol dengan kekasihnya, lama sekali.
Merasa
bosan dengan suasana yang seperti ini, saya keluar dari kamar kosannya tetapi beberapa
jam kemudian saya ke sana lagi. Dan saat itu dia masih melakukan hal yang sama.
Terkadang sambil bernyayi ria dengan menyetel musik yang ada di laptopnya yang
sudah tersambung dengan wifi.
Kurang lebih beginilah kebiasaan teman
saya ketika saya sedang iseng berkunjung ke kamar kosannya. Dia selalu
disibukkan dengan gawainya, sibuk untuk bercinta dengan kekasihnya.
Saya
kira beginilah tindak-tanduk orang yang sedang jatuh cinta, sibuk bermesraan
dengan yang dicintai sampai terkadang lupa yang ada di sekitarnya. Lupa makan,
lupa minum, lupa mandi, dan bahkan mungkin lupa kalau kita sedang hidup di
dunia ini.
Indikator-indikator
ini sebenarnya memiliki kesamaan dengan orang-orang yang sudah berada di level
cinta pada Tuhannya. Hanya saja, berbeda dengan makhluk yang akan sangat mugkin
mengecewakan kita, Tuhan senantiasa setia menemani hari-hari kita dengan penuh
rasa cinta. Mereka ini, entah para sufi, arif billah, atau orang saleh lainnya sudah
mabuk kepayang dengan Tuhan, dan akan sering terlihat melakukan
tindakan-tindakan yang mirip dengan teman saya itu. Bedanya, teman saya ini di
beberapa waktu selanjutnya beralih menjadi pemurung, sedih, karena ternyata
sedang konflik dengan kekasihnya.
***
Hadiah
salat yang telah Allah berikan di malam Isra Mi’raj kepada kita, dengan segala
keringanannya, harusnya dapat dijadikan sebagai sarana bercinta dengan-Nya. Tidak
lagi sekadar untuk penggugur kewajiban, salat harus dijadikan sebagai sarana
efektif untuk mengadu, berkeluh kesah, curhat, kepada Sang Pemilik Dunia.
Bahkan
orang saleh yang telah memiliki pengalaman spiritual tinggi terbiasa mengalami
pengalaman-pengalaman “menyenangkan” ketika salat. Bentuknya bisa berbeda-beda,
ada yang seperti dipanggil atau dibawa ke alam malakut untuk salat berjamaah
dengan para nabi, para sahabat, dan lain sebagaimana tetapi ada pula yang
merasa mendapat ketenangan yang tiada tara.
Bagi
saya momen Isra Mi’raj sudah bukan lagi berdebat soal apakah Nabi Muhammad naik
ke langit bersama dengan fisik atau sekadar ruhnya saja. Bukan. Bukan ini yang
perlu dibahas. Tetapi sudah sejauh mana kualitas salat kita, yang bahkan sebenarnya
pengalaman spiritual yang didapat itu juga bukanlah tujuan finalnya, melainkan perlu
diaktualkan dalam kehidupan nyata, mencegah diri—dan sekitar—dari kekejian dan
kemunkaran. Atau apakah mungkin sekarang sudah zamannya di mana kita sekadar
mengingatkan kebaikan dibilang sok suci atau bahkan fundamentalis?
sumber gambar: bersamadakwah.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar