Tuhan itu Esa atau Tunggal? Ahad atau Wahid?
Jumat
(2/12/2018) lalu bisa dikatakan sebagai salah satu momen perkumpulan terbesar
umat Muslim di tahun ini. Betapa tidak, ratusan ribu bahkan jutaan massa
berkumpul di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, beraksi damai, menggelorakan
takbir sembari mengikat tali silaturahmi. Peristiwa ini digelar meskipun dalam
rangka reuni mengenang kasus penistaan agama, tetapi dapat juga dikatakan
sebagai bentuk perlawanan atas aksi pembakaran bendera bertuliskan lafaz tauhid
yang sempat dilakukan oleh oknum Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Garut
beberapa waktu lalu.
Bagi
umat Muslim, tauhid merupakan suatu doktrin yang suci, bahkan menjadi prasyarat
nomor satu atas peresmian keimanan keislaman mereka, yang berarti pengakuan
dengan penuh kesadaran bahwa Tuhan itu tunggal. Terambil dari bahasa Arab, kata
ini berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan, yang kesemuanya dapat
terangkum dengan kata “satu”.
Di
Indonesia, lebih populer menggunakan istilah esa daripada tunggal untuk
menyepadankan kata tauhid, sesuatu yang identik tetapi sebenarnya memiliki
perbedaan dalam perinciannya. Jika yang pertama masih merangkul keberagaman
dalam simpul kesatuan, sebaliknya istilah yang kedua telah menutup rapat
penggabungan unsur-unsur, dan dengan demikian hanya ada Dia satu-satunya.
Sebenarnya
ekspresi kebahasaan ini pun memiliki kemiripannya dengan bahasa yang digunakan
oleh Alquran, yakni ahad dan wahdah. Dengan menggunakan penafsiran tematik,
Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al-Qur’an
mengungkapkan bahwa kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat
menerima penambahan, baik dalam benak maupun kenyataan, karena itu kata ini,
ketika berfungsi sebagai sifat, bukan bermaksud pada rangkaian rentetan
bilangan, sebagaimana terangkum dalam surat Al-Ikhlas. Biasanya ayat-ayat yang
menggunakan kata ahad sedang menekankan aspek dzat Tuhan yang tiada duanya.
Berbeda
dengan ahad, definisi wahdah lebih menekankan aspek keragaman dalam kesatuan,
yang dengan demikian masih menerima jumlah atau bilangan-bilangan. Penggunaan
kata ini lebih cocok untuk menggambarkan keberagaman sifat-sifat Tuhan,
sebagaimana tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 163. Maka wajar jika bilangan
satu di dalam bahasa Arab menggunakan kata wahidun bukan ahadun
karena setelah angka satu akan ada angka-angka selanjutnya.
Jika
kita beralih melirik pancasila, maka terlihat bahwa para founding fathers lebih
memilih untuk menggunakan kata esa dibanding tunggal karena memang cocok dengan
kultur keagamaan masyarakat Indonesia yang beragam. Pemakaian kata ini pun
sudah selaras ketika disandingkan dengan kata sebelumnya (ketuhanan) yang
cenderung merujuk pada aspek sifat Tuhan, bukan dzat-Nya. Terlebih harus diakui
bahwa terdapat beragam pemahaman mengenai konsep ketuhanan dalam agama-agama di
Indonesia. Sehingga tepatlah jika Indonesia memiliki slogan Bhineka Tunggal Ika
(Unity in Diversity).
Ketika
kalimat sakral ini diperlakukan secara tidak wajar, bahkan terkesan ternodai, maka
wajar jika muncul kecaman-kecaman dari berbagai pihak. Beragam ekspresi
ditunjukkan, sebagaimana terlihat dalam aksi damai tersebut di mana umumnya
dapat terlihat dengan mudah dari atribut-atribut yang dikenakan. Mulai dari
topi, baju, syal, hingga bendera mencantumkan kata-kata bernafaskan tauhid.
Betapapun demikian, kultur politik yang belakangan terjadi tak ayal menjadi
salah satu faktor pemicu keriuhan di negeri ini.
*dimuat dalam kolom Wisata Bahasa, Harian Umum Pikiran Rakyat
sumber gambar: asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar