Semua Manusia itu Sempurna
Sejak
tahun 1992, tanggal 3 Desember dijadikan sebagai peringatan Hari Penyandang
Cacat Internasional. Disponsori oleh PBB, peringatan ini memiliki spirit untuk
mengembangkan wawasan masyarakat perihal persoalan-persoalan yang terjadi yang
menimpa para individu atau kelompok cacat sembari memberi dukungan untuk
meningkatkan martabat, hak, dan kesejahteraan kepadanya.
Perihal
penyematan kata cacat ini, baik secara fisik maupun mental, dalam
perkembangannya mendapatkan kritikan banyak pihak karena terlalu berkonotasi
negatif, untuk itu perlu diubah menjadi disabilitas—yang pada akhirnya tertuang
pada UU No 8 tahun 2016 pasal 1, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ghufron
Sakaril selaku Ketua Umum Persatuan Penyandang Cacat Indonesia pada peringatan
Hari Penyandang Catat pada 2011 lalu (kompas.com).
Adanya pengubahan
penyebutan ini tiada lain agar dapat menghapus stigma masyarakat yang
senantiasa memandang mereka dengan unsur-unsur negatif, seperti
ketidakberdayaan dan ketidakmampuan, sembari beralih dari pendekatan belas
kasihan (charity based approach) menuju pendekatan atas hak sosial (right
based approach), bahwa “setiap orang berhak untuk mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan
memeroleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” (UUD 1945
Pasal 28C ayat 1).
Uniknya,
penggunaan istilah disabilitas pun mendapat kritikan, karena masih mengandung
sesuatu yang berkonotasi negatif (dis-ability). Maka ada yang
menyarankan penggunaan kata difabel yang terambil dari kata different
ability, dengan maksud bahwa sebenarnya setiap orang memiliki kemampuan
yang berbeda-beda. Istilah lain yang berkembang luas, termasuk special
needs dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Adanya dinamika varian penggunaan
kata-kata ini sebenarnya mencerminkan optimisme umat manusia, yang sebenarnya
hendak memandang atau menyebut manusia “yang berbeda” tanpa pengistilahan yang
negatif.
Bahkan,
dengan melangkah lebih jauh, agama Islam secara universal melihat semua manusia
sebagai makhluk yang sempurna, karena Tuhan sesungguhnya telah menciptakannya
dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tin, 95: 4). Ketimbang menilai manusia
dari segi fisiknya, Yang Maha Pengasih memilih untuk mempertimbangkan aspek
moril dan ketakwaan (QS. Al-Hujurat, 49: 13).
Konsep ini secara nyata telah
diaplikasikan dalam kehidupan Muhammad, di mana ia suka menyuruh Abdullah bin
Ummi Maktum (tuna netra) untuk mengumandangkan azan, bergantian dengan Bilal
bin Rabah. Bahkan Rasulullah pun pernah mempercayainya untuk memimpin Kota Madinah
ketika dia sedang berada di luar kota. Jika Allah dan rasul-Nya saja berbuat
demikian, maka sudah selayaknya umat manusia bisa meniru tindakan mulia
tersebut, memandang sesama manusia sebagai ciptaan yang sempurna yang harus
diperlakukan dengan terhormat, tanpa membeda-bedakan.
Sayangnya
pemahaman ini belum seluruhnya disadari oleh masyarakat luas, khususnya dalam
konteks sekolah, oleh para siswa yang berkategori “normal”. Mereka masih suka
menjaga jarak atau menjauhkan diri darinya, bahkan ada yang suka meledek dan
mendiskriminasikannya. Dari sini, sikap sekolah maupun guru harus berada satu
langkah di depan, berinisiatif untuk memberikan pemahaman dan pendidikan yang
benar, melalui cara-cara kultural maupun tersistematis, kepada murid-muridnya
berkenaan bersikap terhadap kalangan difabel.
Di sisi lain diharapkan pula bagi
guru lulusan Pendidikan Khusus untuk dapat berperan memberikan stimulus,
pembekalan, atau arahan kepada guru-guru lain supaya mereka tidak hanya
memiliki sikap yang layak terhadap murid difabel, melainkan sanggup berperan
kreatif untuk memaksimalkan potensi murid difabelnya.
sumber gambar: tstatic.net
Pembelakan itu typo dari pembekalan kang? Hehe
BalasHapuss12888
BalasHapuslogin bluebet66
daftar cbet online
daftar 918 kiss malaysia
osg777 apk
joker123