Radikalisme dari Masa ke Masa
Putri Wulansari
Rentetan aksi teror bom bunuh diri yang menyelimuti tanah Surabaya dan Sidoarjo telah menjadi trauma bersama. Pengutukan, pengecaman atau pun kata lain yang dapat menggambarkan kebencian terhadap aksi teror tersebut ramai menghiasi beranda media sosial. Rupaya bukan hanya di jagat media sosial perbincangan mengenai aksi teror berhenti namun merembet hingga ke dalam obrolan ibu-ibu yang sedang membeli sayur atau pun bapak-bapak yang mengumpul di warung kopi. Perbincangan-perbincangan tersebut pada akhirnya berakhir dengan sebuah kesepakatan untuk mengenyahkan paham radikalisme yang merupakan cikal bakal terorisme di bumi Indonesia.
Rentetan aksi teror bom bunuh diri yang menyelimuti tanah Surabaya dan Sidoarjo telah menjadi trauma bersama. Pengutukan, pengecaman atau pun kata lain yang dapat menggambarkan kebencian terhadap aksi teror tersebut ramai menghiasi beranda media sosial. Rupaya bukan hanya di jagat media sosial perbincangan mengenai aksi teror berhenti namun merembet hingga ke dalam obrolan ibu-ibu yang sedang membeli sayur atau pun bapak-bapak yang mengumpul di warung kopi. Perbincangan-perbincangan tersebut pada akhirnya berakhir dengan sebuah kesepakatan untuk mengenyahkan paham radikalisme yang merupakan cikal bakal terorisme di bumi Indonesia.
Tanpa
mengabaikan fakta-fakta tersebut, bahwa aksi teror adalah salah satu bagian
dari tragedi kemanusian. Kendati telah dilakukan berbagai upaya deradikalisasi,
rupanya paham radikal ini tidak mudah dienyahkan semudah membalikan telapak
tangan. Selain itu, sepertinya aktivis deradikalisasi melupakan fakta yang
mungkin telah lama menghilang jika paham radikal merupakan warisan kolonial
yang bertahan hingga sekarang.
Melalui
sebuah buku yang berjudul Memata-Matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelejen
Politik Hindia Belanda 1916-1934 (2013)
yang dikarang oleh Allan Akbar, dia mampu membuka mata kita jika radikalisme
sudah mendarah daging di bumi Indonesia. Di dalam buku tersebut diceritakan
bagaimana perkembangan paham radikal di era pasca kemerdekaan dan setelah
kemerdekaan. Di dua era tersebut paham radikal dipelopori oleh aktivis kiri
atau golongan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan aktivis nasional sekuler yang
digawangi Partai Nasional Indonesi (PNI) yang cukup membuat kelimpungan De
Polieteke Inlichtingen Dients (PID) yang merupakan badan keamanan yang
dibentuk Belanda untuk menekan paham radikal yang mengancam kekuasaan
pemerintah kolonial di Hindia Belanda.
Di
zaman old ini paham radikal cenderung dipelopori aktivis kiri atau pun
sekuler yang notabene terpisah dengan agama.
Maka di era now atau pasca reformasi paham radikal dipelopori
oleh aktivis kanan yang berbasis agama. Perkembangan radikalisme ini
dicikalbakali oleh runtuhnya rezim orde baru sekaligus membuat paham-paham
radikal dari luar melenggang bebas masuk ke Indonesia. Salah satu paham radikal
itu adalah paham yang dibawa oleh Ikhwanul muslimin yang tak lain menjadi akar
dari aktivis kanan garis keras dan kerap menjadi dalang atas rentetan kasus
terorime di Indonesia.
Melihat
perkembangan radikalisme dari zaman ke zaman dari aktivis kiri hingga aktivis
kanan bermuara pada hal yang sama yaitu melawan ketidakadilan. Radikalisme masa
kolonial menentang kekuasaan kolonial yang begitu menyengsarakan pribumi.
Kemudian setelah kemerdekaan gerakan radikalisme menumbangkan rezim otoriter orde baru yang selama
kekuasaanya turut andil dalam menyengsarakan rakyat.
Seperti
halnya gerakan radikal sebelumnya gerakan radikal aktivis kanan turut
menyuarakan hal sama yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
sama-sama melawan pemerintah dan sama-sama diberangus oleh pemerintah.
Kendati
demikian, terdapat perbedaan yang mendasar dengan gerakan sebelumnya. Jika
gerakan sebelumnya membawa Indonesia pada kemerdekaan dan wajah baru Indonesia
yang lebih baik maka gerakan yang belakangan ini tak jelas juntrunganya akankah
membawa Indonesia menjadi lebih baik atau pun membuat ramalan Indonesia akan
bubar menjadi kenyataan dengan beragantinya Indonesia menjadi negara Islam.
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, IAIN Surakarta
sumber gambar: www.m.merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar