Kehilangan Ruh
Jiva Agung
“Kampreet…ceuk
aing oge….” Terdengar letupan suara salah satu mahasiswa di dalam kelasnya.
“Anjiir
sia..”
“Anjiir...”
Bukan
hanya terdengar kata-kata kampret, dan anjir (anjing? sial?), tapi
lama-kelamaan terdengar juga kata-kata kasar lainnya seperti bodoh,
setan, tahi, kehed[1],
dan kata-kata lainnya yang tak perlu dibeberkan semua.
Uwais
tidak berani menegur, walaupun hatinya menggebu-gebu memberontak. Dia menutup
telinganya. Tapi karena semakin tidak tahan, akhirnya dia meninggalkan kelas.
Ada
yang berani menegur, misalnya Eneng, “HEI kamu, ngomongnya di jaga atuh…”,
atau Ujang yang agak lembek menengur dengan sekadar mengucap huuush beberapa
kali seperti mengusir ayam. Sedang yang lain malah ikut ketawa, seakan
menyetujui ucapan-ucapan tersebut terlontar.
Barangkali
sudah menjadi rahasia umum perkataan-perkataan seperti ini terdengar di
lingkungan anak sekolahan yang ada di Kota Bandung. Bukan hanya di sekolah,
perguruan tinggi yang merupakan tempat dicetaknya para cendekiawan pun tidak
kalah parahnya.
Uwais
tidak bisa menyalahkan si pelaku atau satu dua orang saja, karena menurutnya
masalah ini sudah begitu kompleks, menjalar ke berbagai elemen.
Uwais
begitu sedih, mengapa anak-anak yang dipersiapkan untuk menjadi
pemimpin-pemimpin penerus bangsa tidak memiliki tata krama yang baik dalam
bergaul. Apakah pelajaran agama selama ini masih mandul?
“Pelajaran
agama kan bukan untuk menjadikan siswa itu menjadi seorang ahli agama
(ulama), melainkan menjadikan seseorang yang berkepribadian saleh
dari segi sosialnya, sudah barang tentu termasuk etika pergaulan dan cara
berbicaranya.” ucap Uwais dalam hatinya.
Kesedihannya
menjadi beribu-ribu kali lipat karena ucapan-ucapan itu juga kadang terlontar
dari mereka yang akan dicetak menjadi guru agama.
“Astagfirullah.
Mengapa hal ini bisa terjadi, terlebih kepada mereka yang nantinya akan
mengajarkan anak didiknya nilai-nilai moral. Bagaimana mungkin bisa memberi
teladan jika dirinya sendiri seperti itu.” Uwais masih bertanya-tanya.
“Apakah
itu bawaan SMA mereka? lingkungan rumah? atau bahkan keluarganya pun
mencontohkan demikian. Kalau memang benar keadaan eksternal yang ada
menuntunnya ke arah yang tidak baik,
lalu mengapa mereka tidak mengubahnya atau jika tidak memungkinkan untuk
mengubah, setidaknya mereka seharusnya sudah bisa menyaring mana yang benar dan
mana yang buruk.” Sekali lagi Uwais bertanya-tanya.
Uwais
menyadari dirinya memang pengecut, tidak berani menegur langsung, sebab dia
orangnya tidak enakan. Takut menyinggung perasaan lawan bicaranya. Takut
kata-katanya malah balik menyerangnya. Takut dan takut.
Tapi
Uwais tidak diam sama sekali. Dia berdoa di setiap shalatnya
semoga teman-teman dan dirinya dapat diberikan jalan hidayah. Memang imannya
masih selemah-lemahnya iman sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis
Rasulullah.
Setiap
malam Uwais tidak bisa tidur, masih kepikiran dengan masalah ini. Menurutnya
jika dibiarkan, pasti akan semakin menyebar bahkan yang lebih menakutkannya
lagi, suatu ketika perkataan-perkataan buruk tersebut akan dianggap sebagai
suatu kewajaran.
“Naudzubillah.
Jangan sampai Ya Allah...”
Maka
di suatu malam Uwais memberanikan diri untuk membuat tulisan berupa kritikan
yang nantinya dipajang di mading kampusnya supaya bisa dibaca oleh semua pihak
yang menyatakan bahwa kampusnya mereka sedang dilanda krisis moral dan
etika.
Untung
bin ajaib, sekali lagi lucky for Uwais. Dia tidak perlu memajang
tulisannya ke mading, sebab pagi hari selajutnya telah terlihat ada sebuah
tulisan yang memiliki tujuan yang sama.
Ya,
untuk mengkritik masalah kemerosotan moral dan etika mahasiswa yang ada di
kampusnya itu. Dia lebih bangga lagi saat tahu kalau yang menulis adalah adik
tingkatnya yang masih berada di tingkat pertama.
“Sungguh
hebat dan berani dia. Semoga Allah
selalu meneguhkan hatinya.” Gumam Uwais dalam hati sembari menyunggingkan
senyum simpulnya.
Uwais
merasa tenang, ternyata bukan dirinya saja yang merasa ada suatu kesalahan di
dalam diri para mahasiswa dewasa ini tetapi ada juga orang lain yang merasakan
hal yang sama dengannya.
Di
hari berikutnya dia membaca postingan status adik kelasnya—yang lain—di
facebook yang kurang lebih juga menyoroti masalah itu. Melihat masih ada
beberapa mahasiswa yang peka dan peduli terhadap teman-temannya, Uwais akhirnya
bertekad pula untuk berturut serta. Dia diam-diam mengumpulkan teman-teman
sejurusan yang sepaham dengannya, yang juga merasa risih dengan kemerosotan
moral yang terjadi di dalam tubuh para mahasiswa.
Alhamdulillah ajakannya
disambut hangat dan mereka akhirnya membuat jadwal diskusi untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Tidak lupa Uwais juga mengeluhkan masalah ini kepada salah
satu dosennya, yang tidak kalah peduli kepada nasib anak didiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar