Murid-Muridku yang Kritis dan Progresif
Jiva Agung
Menyiasati waktu
pembelajaran yang masih tersisa setelah melakukan ulangan harian, aku membuat circle polling, sebuah permainan
pengambilan suara berdasarkan apa yang para siswa yakini.
Akan tersedia tiga buah
meja yang masing-masing harus mereka lingkari sesuai jawaban yang dipilih atau
diyakini kebenarannya, setelah sebuah pertanyaan dilontarkan. Meja sebelah
kanan untuk yang setuju dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, meja di tengah
untuk yang abstain atau masih ragu-ragu, dan meja di sebelah kiri untuk mereka
yang menolak (tidak setuju).
Pertanyaan pertama yang
aku lemparkan kepada mereka ialah, “apakah perempuan boleh menjadi seorang
pemimpin (organisasi, kelas, daerah, negara)?” Dan tak pernah menyangka sama
sekali kalau hampir semua siswa melingkari meja di sudut kanan yang berarti menyetujui kebolehan seorang perempuan untuk
menjadi pemimpin. Hanya beberapa siswa saja yang berdiri di sisi meja kiri
sedangkan tak ada satu pun yang berada di sekitaran meja tengah.
Bukan hanya itu, aku semakin
terkagum karena argumen yang mereka utarakan. Astami, yang memang merupakan
salah seorang murid terunggul di kelasnya mengatakan kalau sekarang sudah
zamannya kesetaraan gender. Kepantasan memangku jabatan sebagai seorang
pemimpin bukan lagi atas dasar jenis kelaminnya, melainkan kualitasnya. Glek! Di
sini aku menelan ludah. Bagaimana mungkin anak SMP sudah mengetahui wacana,
tentu dengan kadarnya tersendiri, seputar kesetaraan gender. Wow sekali.
Temannya yang lain
berpendapat bahwa “pemimpin-pemimpin” perempuan di Indonesia pun tidak sedikit
yang telah menunjukkan keprofesionalitasannya, seperti Ibu Susi dan Sri
Mulyani. dan dulu bahkan Megawati pernah menjabat sebagai presiden di negara
dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia.
Seperti kurang
menerima, kubu meja kiri beranggapan kalau perempuan itu tidak pantas menjadi
pemimpin karena mereka mudah baper dan
menurutnya selama masih ada lelaki di lingkungan tersebut, maka sudah
sewajarnya jabatan itu diberikan kepadanya.
Dua siswa lain
menambahkan kalau kepemimpinan lelaki itu adalah merupakan ajaran Islam sebab
tertera di dalam Alquran (saat itu mereka tidak menyebut surat dan ayat
Alqurannya) dan melihat realita sejarah di dunia Islam (sekali lagi, mereka
tidak menyebutkannya secara spesifik).
Di pertanyaan yang
pertama ini aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri, tidak memberi
komentar apa pun. Aku cuma mau mengetahui gambaran kasar pandangan para siswa
yang kuajar.
Berlanjut ke pertanyaan kedua, aku bertanya
mengenai bolehkah umat muslim berpacaran (sebelum menikah). Alhamdulillah-nya
mayoritas dari mereka berkerumun di meja kiri (menolak) meski belakangan salah
seorang murid memberitahuku kalau ada yang munafik (menolak pacaran padahal dia
memiliki pacar). Sekitar 5-10 siswa memilih abstain dan dua siswa, dengan
malu-malu, memilih setuju.
Seperti alasan larangan
berpacaran pada umumnya, kubu yang tak setuju menganggap kalau berpacaran itu
dilarang dalam Islam (kali ini salah seorang siswa dapat membacakan 1 ayat
Alquran dan 1 buah hadits). Mereka juga meyakini bahwa berpacaran itu
seminal-minimalnya telah melakukan zina pikiran.
Untuk kelompok yang
abstain sebenarnya tidak memiliki argumentasi, maka dari itu mereka memilih di
tengah, masih bingung meski memiliki kecenderungan untuk tidak setuju dengan
pacaran.
Di sisi lain, dua siswa
yang meyetujui pacaran mengatakan kalau pacaran itu juga memiliki manfaat
(contoh yang mereka berikan: sebagai ajang silahturahmi, agar belajar semakin
bersemangat, belajar memecahkan masalah, dan karena salah seorang dari mereka
telah berstatus pacaran).
Betrand menambahkan
bahwa pacaran itu tidak akan berdampak buruk selama kedua belah pihak
senantiasa berpikir positif dan melakukan tindakan-tindakan yang positif pula.
Sedangkan siswa yang satunya lagi mengatakan kebolehan berpacaran selama masih
dalam batasan-batasan tertentu. Saat aku bertanya apa itu batasannya, ia
mengatakan selama tidak berzina.
Di sesi pertanyaan
kedua ini suasananya sangat ramai, hampir tidak kondusif, sebab masing-masing
kubu hendak mematahkan pendapat kelompok lainnya, padahal di permainan ini aku
hanya ingin mengetahui pendapat mereka dan bukan sedang dalam ajang perdebatan.
Akhirnya aku memberi
sedikit lontaran, menanggapi kalau berpacaran itu meski memiliki sisi-sisi
positifnya tetapi bukan berarti diperbolehkan. Kemudian aku memberi analogi
seorang pencuri yang mencuri barang tertentu. Jelas, mencuri juga memiliki
manfaat atau keuntungan (seperti: si pencuri bisa memiliki dan memanfaatkan barang
tersebut. Bisa jadi si pencuri juga dapat membeli keperluan hidupnya dari hasil
menjual barang curian) tetapi jika ditimbang-timbang, hasilnya akan jelas,
bahwa mudaratnya lebih besar. Maka dari itu mencuri terlarang.
Pindah ke pertanyaan
lain, aku mengajukan sebuah pertanyaan pengandaian. Jika orang tua mereka
bukanlah beragama Islam sedangkan mereka sendiri adalah muslim lalu dikemudian
hari orang tua mereka itu meninggal dalam keadaan tak memeluk Islam. Apakah
orang tuanya akan masuk surga?
Aku memang sengaja
memberikan pertanyaan yang sedikit melibatkan unsur emosional dan guncangan
psikologis dengan melibatkan orang tua mereka sendiri di dalamnya karena jika
kasusnya adalah mengenai seseorang yang tak memiliki hubungan—secara langsung—dengan
mereka, akan sangat mungkin sekali mereka memilih meja kiri dengan mudah.
Dan seperti yang aku prediksi
sebelumnya, pertanyaan ini akan benar-benar memecah mereka, dalam artian tidak
ada satu opsi jawaban yang dipilih dengan jumlah yang sangat dominan. Hasilnya,
sekitar 50% berada di meja abstain, 45% di meja kiri (menolak), dan hanya 5%
yang memilih meja kanan (setuju).
Suatu hasil yang
menarik, sebab sepertinya menujukkan gambaran yang berbeda jika dibandingkan dengan,
misalkan ada, hasil persentase akumulatif lingkup makro umat muslim karena
seharusnya meja di sebelah kirilah yang menempati urutan tertinggi dari yang
lainnya.
Murid-muridku yang
memilih abstain beralasan karena orang yang beragama Islam sendiri belum tentu
masuk surga, begitu pun sebaliknya, yang non-muslim pun belum tentu masuk
neraka, apalagi jika orang tua tersebut telah berbuat baik kepada anaknya
selama hidupnya. Pandangan ini diamini oleh kelompok meja kanan dengan sedikit
memberi tambahan bahwa bisa saja karena amal/perbuatan shaleh (baik) dan doa anaknya
tersebut, si orang tua mendapat cipratan pahalanya. Bagi mereka, anak shaleh
bisa membantu orang tuanya memasuki surga.
Kedua pandangan ini
langsung disanggah oleh kelompok kontra (meja kiri) dengan menyatakan bahwa
kesyirikan (yang menurut mereka secara otomatis terdapat pada agama non-Islam)
membuat amal salehnya, sebanyak apa pun itu, tak dianggap (tertolak) atau
sia-sia belaka. Sedangkan yang beragama Islam, meskipun sepanjang hidupnya
melakukan banyak kesalahan (dosa), tetapi selama ia tidak meninggal dalam
keadaan syirik, maka pada akhirnya Allah memasukkannya ke dalam surga. Argumen
ini pulalah yang dibangun oleh mayoritas umat Islam, setidaknya hal itu yang
selalu kudengar.
Masih berhubungan
dengan pertanyaan sebelumnya, kali ini aku bertanya kepada mereka mengenai
apakah benar sudah ada perubahan pada teks kitab suci agama lain khususnya pada
agama Kristen dan Yahudi? Hampir semua bergerombol ke meja kanan dan hanya menyisakan
kurang lebih lima orang saja yang berada di meja tengah. Tak ada satu pun yang
berdiri di meja kiri.
Salah satu siswa yang memilih
setuju mengutip perkataan salah seorang guru agama Islam yang mengatakan bahwa
kitab Injil itu selalu mengalami perevisian dan penyesuaian sedangkan untuk
saat ini kitab aslinya sudah tidak ada lagi.
Masih di meja yang
sama, seorang siswa beralasan kalau kitab yang saat ini dipakai oleh orang
Kristen itu adalah Perjanjian baru, padahal wahyu yang benar datangnya dari
Allah adalah Perjanjian Lama. Di sini aku mencoba untuk memberi sedikit klarifikasi
soal perevisian dan penggunaan kitab taurat, meski serba singkat karena takut terlalu
berat materinya dan memang belum berada pada momen yang pas.
Giliran kelompok
abstain yang berbicara. Adalah Yaqub, yang mewakili pandangan teman-temannya
mengatakan bahwa ia belum bisa memberi penilaian atas kitab suci agama lain
karena memang ia sendiri belum pernah membaca dan mengkajinya. Sungguh, sungguh
bagiku ini merupakan sebuah bentuk kerendah-hatian yang amat indah.
Aku pun mungkin akan
merasa sakit hati jika Alquran dibilang sebagai kitab teroris, kitab palsu, dan
sebutan-sebutan negatif lainnya oleh pemeluk agama lain padahal mereka sendiri
belum pernah menyentuh Alquran. Jadi menurut saya, pendapat yang seperti
Yaqublah yang perlu tertanam kepada setiap diri umat beragama untuk senantiasa
menahan diri dari berpagi-pagi berburuk sangka.
Pertanyaan terakhirku
kepada mereka ialah, “apakah Islam adalah agama yang paling sempurna?” Seperti
hendak mencitrakan pandangan umum di kalangan universal internal Islam, mereka
berduyun-duyun mengerumuni meja kanan dengan menyisakan beberapa siswa saja di
meja tengah.
Saat ditanya
argumentasinya mengapa mereka meyakini kesempurnaan Islam, Naufal, salah
seorang murid yang paling dalam ilmu keislamannya mengungkapkan tiga buah
alasannya. Pertama, karena Islam itu mengajarkan kebaikan (dalam hatiku,
memangnya agama lain tidak mengajarkan kebaikan?). Kedua, Islam memiliki kitab
suci yang terjaga keasliannya (ia melandasinya dengan firman Allah yang
termaktub dalam Alquran). Dan, ketiga, karena satu-satunya kitab suci yang
mengatakan secara gamblang/eksplisit kalau Tuhan itu esa dan terdapat kata “sembahlah
Aku”. Argumentasi lain diucapkan oleh seorang siswi. Ia bertutur, “masa iya
kita yang sudah beragama Islam tetapi masih ragu akan kesempurnaannya?”
Beberapa pandangan
mereka ini seketika ditanggapi oleh Yaqub, yang sekali lagi berada di posisi
abstain. Kira-kira seperti ini yang ia katakan waktu itu:
“Saya terlahir
dari keluarga pemeluk Islam. Lalu orang-orang di sekitar saya mengatakan kalau
Islam itu agama yang sempurna sehingga saya meyakini kalau Islam itu sempurna,
padahal saya sendiri belum mengetahui ajaran Islam seluruhnya dan saya juga
belum tahu bagaimana ajaran agama lain.”
Jujur, ini pandangan
terkeren sejauh yang pernah saya dengar dalam sesi permainan ini. Sungguh
kritis nan progresif. Seakan ia ingin mengatakan bahwa yang selama ini kita
lakukan hanyalah semacam klaim sepihak. Jika demikian adanya, maka semua orang
pun bisa mengatakan hal yang serupa, meyakini kalau agamanyalah yang paling sempurna
di saat ia sendiri belum mengenal agama lain.
Yaqub juga menyangsikan
kevalidan argumen Naufal dengan mengatakan, “mengapa agama yang menyembah satu
Tuhan disebut paling sempurna?” Aku tak menyangka bahwa kata-kata filosofis-radikal
seperti ini bisa keluar dari mulut seorang siswa SMP, sebuah pertanyaan yang—meskipun
bisa saja ditanggapi lagi—logisnya terucap dari kalangan mahasiswa.
Kegiatan ini aku tutup
dengan tanpa memberi doktrin sedikit pun mengenai pemahaman mana yang salah dan
mana yang benar. Aku hanya ingin mereka terus merasa menjadi seorang pembelajar
yang perlu membuka diri dan mau untuk berproses dalam rangka meraih pemahaman
yang semakin matang. Jangan sampai merasa diri telah mendapat pandangan yang
final sehingga enggan menampung pemahaman lain yang mungkin saja mengandung
nilai kebenaran.
Duh! adanya keberagaman
sikap dan pendapat di kalangan siswa-siswa ini membuatku semakin bergairah
untuk berkiprah di dunia pendidikan.
Sumber gambar: www.youthmanual.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar