Menuju Negeri Impian dengan Selamat
M. Irfan Ilmy
Pemahaman tentang kefanaan dunia telah khatam kita
kuasai. Bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara. Persis seperti kita diam beberapa
saat di sebuah bandara untuk transit, lalu kembali akhirnya akan melanjutkan
penerbangan ke tempat tujuan utama. Sangat sesaat. Serupa analogi yang terdapat
dalam hadits Rasulullah saw. bahwa manusia di dunia tak ubahnya seorang
pengembara yang sebentar berteduh untuk kembali melanjutkan perjalanannya[1].
Secara teori, keniscayaan ini telah mengakar dalam
diri kita. Namun, pada praktiknya terkadang jauh panggang dari api. Banyak musabab
yang membuat manusia tidak sadar bahwa mereka sebenarnya tengah mengingkari
pemahamannya sendiri.
Perbuatan yang dilakukan selama hidup mencerminkan
kecongkakkan kalau kehidupan di dunia akan selama-lamanya. Terbukti dari
rajinnya perbuatan tidak dianjurkan bahkan dilarang aturan agama malah menjadi
sebuah kebiasaan. Dijadikan langganan sehari-hari. Padahal untuk urusan usia
tak pernah ada yang mengetahui kecuali Yang Maha Memiliki. Apakah esok masih
diberi kesempatan untuk bertaubat, ataukah jatah hidupnya lalu akan segera
tamat, itu begitu misteri. Gaib dan tak bisa diprediksi.
Keselarasan pemahaman dengan realisasi perbuatan
sangat ditentukan oleh pengaruh akidah yang lurus. Apabila dimisalkan dengan
sebuah pohon, akidah adalah akarnya. Ia yang menjadi penentu kualitas batang,
dahan, daun hingga buahnya. Dalam hal kehidupan beragama, buah yang dimaksud
yaitu amal perbuatan. Jadi, kalau terdapat ketimpangan antara apa yang dipahami
dengan apa yang coba dijalani berarti ada kemungkinan tidak beres dalam
keyakinannya itu. Perlu segera dibenahi. Kalau tidak, ia akan menyebar ke seluruh
tubuh seperti halnya sel kanker yang dengan leluasa berkoloni menyebabkan
rusaknya antibodi. Ujung-ujungnya mengancam keberlangsungan kehidupan.
Dalam menjalani kehidupan, mendikotomikan antara
urusan dunia dan akhirat merupakan sebuah kecatatan dalam berlogika. Keduanya
adalah kesatuan seperti halnya jiwa dan raga. Dua dalam satu. Manunggal yang
tersusun dari unsur ganda. Di mana mengurusinya secara terpisah, tanpa
mengaitkannya sama sekali hanya akan membuat ketidakteraturan berkepanjangan. Bahkan
akan sangat berdampak luar biasa apabila paham ini diadopsi pada sistem makro
(misalnya negara).
Pijakan pandangan keliru ini akan merambat cepat
hingga akhirnya merusak sistem pemikiran. Seperti kerja benalu yang menghambat
pertumbuhan tanaman, ia merusak potensi secara besar-besaran.
Islam sendiri adalah agama dengan kekhasan yang seluruh
ajarannya begitu sempurna. Mengatur segala ihwal kehidupan tanpa terkecuali. Dari
aturan tidur hingga urusan kubur. Dari perkara cinta sampai tata cara negara.
Mulai perihal talak hingga ilmu falaq. Lengkap ditata di dalamnya. Apabila ada
yang keukeuh dengan upaya pemisahan antara kedua urusan itu, maka ia
sedang berupaya mengerdilkan ajaran agama agung dan kamil ini.
Perjalanan hidup di dunia tak ubahnya sebuah tugas
untuk mencari harta karun. Diam di satu tempat hanyalah sejenak untuk
beristirahat. Tidak untuk selamanya. Karena ada tugas yang dibebankan untuk
menjalankan sebuah misi yang hakiki. Mencari keridaan Ilahi sebagai tiket
berkumpul di negeri impian, tempat yang diliputi kebahagiaan. Yakni, surga
hingga bertemu dengan-Nya di sana.
Dalam proses menggapai tempat istimewa yang penuh
dengan karunia itu ternyata lekat dengan aral dan rintang. Tidak lurus dan
mulus selayaknya jalan tol yang diurus dengan serius. Ada pihak-pihak yang
tidak ingin harta karun dan negeri impian itu didapatkan dengan mudah saja.
Karena bila itu terjadi, mereka tidak memiliki rekan untuk menjalani kehidupan
yang penuh dengan siksaan. Sebut saja, iblis, syaitan dan antek-anteknya yang
akan menangis sejadi-jadinya apabila negeri impian berhasil ditapaki oleh
orang-orang beriman.
Negeri impian itu tak ubahnya sebuah
pulau di tempat jauh sana yang harus ditempuh dengan perjalanan berdarah-darah.
Kita selaku orang-orang muslim diberikan waktu untuk menyebrang dari tepi
pantai ke negeri itu berada. Celakanya kuota usia sebagai waktu tempuh menuju
ke sana tidak diberi bocorannya. Karena hal ini, siapa yang benar-benar mengidamkan
tempat yang dijanjikan, masa yang diberikan itu akan benar-benar dimaksimalkan.
Sebab ia sedang berpacu dengan waktu untuk sampai dengan cepat dan selamat.
Kalau-kalau sebelum tujuan itu tergapai ternyata waktunya dinyatakan sudah
selesai, itu kan jadi percuma.
Perjalanan untuk tiba di tepian pulau harapan hanya
bisa diraih dengan perbekalan yang lengkap. Dari mulai peta perjalanan, kompas
penunjuk arah, logistik berupa bahan-bahan makanan, pakaian, hingga persiapan
fisik dan mental serta alat transportasi semacam sampan atau kapal pesiar yang gagah
dan perkasa.
Alquran Sebagai Pemandu Jalan
Peta perjalanan umat Islam untuk sampai di tempat
terakhir yang ditujunya sudah diberikan. Bahkan memiliki multifungsi yang juga
sebagai penunjuk arah dan penawar letih serta lelah selama perjalanan. Ia
adalah Alquran Al-Karim yang disematkan padanya berbagai julukan mulia seperti Al-Huda,
Al-Bayan, Al-Dzikr, hingga Al-Syifa.
Kemuliaan Alquran sebagai kitab suci terus menerus
tanpa henti dikabarkan ke setiap generasi. Betapa ia memuat banyak nilai yang
mengatur urusan-urusan kehidupan. Sebagai firman Allah yang memungkasi
kitab-kitab sebelumnya, Alquran dikatakan bersifat penyempurna.
Pada khutbah shalat Jumat (2 Desember 2016) di
masjid Al-Furqon UPI disampaikan oleh khatib bahwa “kalau ada umat agama
tertentu yang bangga dengan kitab sucinya, maka umat islamlah yang berhak
paling berbangga dengan Alqurannya[2]”.
Tidak berlebihan apa yang disampaikan oleh Dr. Aam
Abdussalam, MPd ini. Khatib menekankan betapa Alquran mampu memberikan efek
psikologis yang mampu menggerakkan
manusia yang membacanya untuk berbuat kebajikan. Ini baru di taraf membaca
saja. Bagaimana dengan orang-orang yang diberikan karunia ilmu Alquran? Maka kebaikan-kebaikan
Alquran bisa setiap saat mempengaruhi jiwanya untuk kemudian menambah setiap
inci keimanan kepada Sang Pemilik Firman.
Bahkan saking luarbiasanya keajaiban Alquran,
seorang ‘Abdullah Darraz[3],
dalam Al-Naba’ Al-‘Azhim memuji Alquran sebagai berikut:
“Ayat-ayat
Alquran bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan
apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda
mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak
ketimbang apa yang Anda lihat.”
Hari ini, umat muslim—jangan jauh-jauh lingkupnya dunia—coba
tengok saja Indonesia dengan penduduk mayoritasnya muslim terkesan begitu
kesulitan meraih kejayaan yang telah dijanjikan. Mereka seperti linglung
sendiri, bingung kemana harus melangkahkan kaki dan mengendalikan arah kemudi.
Sudah bisa ditebak bahwa mereka berislam karena hanya ikut-ikutan. Tidak
mengerti esensi pilihannya sendiri. Padahal apabila opsi yang telah dipilih
untuk menjadi muslim diikuti dengan berbagai konsekuensinya seperti mempelajari
Alquran dan hadits sebagai pedomannya, hal-hal seperti ini tak akan pernah
terjadi.
Hadits Nabi tentang banyaknya umat Islam di kemudian
hari tak ubahnya buih di lautan betul-betul jadi tidak membuat kita sangsi
lagi. Ini akibat dari kebanyakan mereka yang menjadikan Islam hanya kebanggaan di KTP semata. Belum
dihayati sepenuhnya sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan.
Alquran sebagai peta perjalanan selama menjalani
kehidupan, sebagai alat mempermudah menuju negeri impian serta sebagai petunjuk
arah, kini hanya rapi disimpan di lemari-lemari. Bahkan sampai sekian tahun
lamanya masih utuh karena jarang disentuh. Hanya jadi barang pajangan untuk
memperindah ruangan. (Sebagian) umat islam telah dibutakan gemerlapnya dunia
hingga tidak sempat belajar cara mempergunakannya. Bahkan sekadar membacanya
saja pun tidak mau dan mampu. Wajar apabila perilakunya tak karuan akibat
kehilangan tuntutan. Terperangkap nyamannya beragam tontonan yang melenakan.
Amal Saleh Sebagai Kapal Pesiar yang Gagah Perkasa
Untuk sampai ke negeri impian, kita harus mampu
menyeberangi samudra yang luas dan jauh tak terkira. Silakan naik apa saja yang
penting pertimbangkan juga estimasi waktu tempuh dan perkirakan banyaknya perbekalan
yang dipunya. Banyak pilihan transportasi yang bisa digunakan. Menaiki kapal
pesiar besar bersama banyak manusia lainnya. Naik sampan kecil dengan kapasitas
yang hanya menampung beberapa orang saja. Atau bahkan bisa mengandalkan
kemampuan diri sendiri dengan berenang sendirian. Tapi ini terlalu berisiko. Pemangsa
buas yang sesekali mengintai karena kelaparan harus dihindari supaya tidak
sampai dilahap.
Alat transportasi itu semua adalah permisalan bagi
wasilah yang mampu menyampaikan kita ke surga-Nya. Kepandaian dalam memilih
menentukan seberapa efektif serta efisien tiba di titik tuju itu.
Ada banyak dari kita yang ingin masuk tempat yang
dijanjikan sendirian saja. Egoisme merasuk dalam diri sejadi-jadinya. Ingin
bahagia tidak berbagi dengan yang lain. Orang-orang di sekitar biar saja
tersesat dan kebingungan ke mana
harus berjalan. Apakah perangai macam ini yang dicontohkan baginda Rasulullah
yang mulia? Tentu tidak. Kekasih Allah ini mengajarkan betapa kolektivitas
selalu lebih utama daripada menjalankan kebaikan hanya sendiri. Lihat contohnya
pada penekanan dalam salat fardu lewat pengabaran di hadis-hadisnya. Sungguh
mengisyaratkan bahwa melakukannya secara bersama-sama lebih utama daripada
mengerjakan sendirian saja.
Dari banyak pilihan alat transportasi tersebut,
pilihlah yang bisa memuat banyak penumpang. Percayalah, itu akan membikin hati
jadi tenang dan terasa lebih lapang. Beramal baik tidak hanya dilakukan sendiri
namun mengajak khalayak untuk sama-sama menabung amal untuk tiket selamat di
akhirat. Jangan sampai hanya menyeberangi
samudra kehidupan hanya bermodalkan naik sampan atau berenang seorang diri
sebagai representasi beribadah sungguh-sungguh sendirian dan mengabaikan
orang-orang yang berada di lingkaran keburukan.
Yang akan mengantarkan kita ke surga adalah dunia
yang berada di genggaman. Ini adalah bekal berharga dalam mengarungi samudra
yang penuh dengan berbagai ancaman. Memperhatikan keseimbangan antara keduanya
tanpa membenturkan satu sama lain adalah kunci meraih rida Ilahi.
Sumber gambar: FB Tasawuf Underground
Penulis, adalah alumni Prodi IPAI UPI Bandung
[1] Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tak ada kecintaan dunia bagiku, aku di dunia ini hanyalah seperti pengembara yang sedang berteduh di bawah naungan pohon, setelah itu akan pergi dan meninggalkannya.”
(Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al Hakim, dan ad-Dhiyaa. Lihat Shahiihul Jaami’ no 5668)
“Tak ada kecintaan dunia bagiku, aku di dunia ini hanyalah seperti pengembara yang sedang berteduh di bawah naungan pohon, setelah itu akan pergi dan meninggalkannya.”
(Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al Hakim, dan ad-Dhiyaa. Lihat Shahiihul Jaami’ no 5668)
Anonim.
(2016). Dunia Hanyalah Seperti Pengembaraan. [online]. Tersedia: https://cybermujahidah.wordpress.com/2016/05/29/dunia-hanyalah-seperti-pengembaraan/,
diakses pada tanggal 7 Desember 2016.
[2] Tema khutbah yang disampaikan
ialah mengenai kemuliaan Alquran serta berbagai bentuk upaya musuh-musuh Islam
untuk meniadakannya.
[3] Shihab, M.Q. (2013).
“Membumikan” Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.
Bandung: Penerbit Mizan: halaman 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar