Satu Islam Ragam Pemahaman
Robby Karman
Seperti anak-anak pada
umumnya, saya mendapat pendidikan agama sejak masuk Taman Pendidikan Alquran
(TPA). Kegiatan yang saya sebut mengaji saya lakukan setiap sore hari. Lembaga
pendidikan non formal ini melengkapi pendidikan formal di sebuah SD yang saya
jalani pada pagi harinya.
Jika di sekolah dasar
pelajaran agama hanya 2 jam dalam satu minggu, di TPA setiap hari saya mendapat
pelajaran agama. Mulai dari membaca Alquran, doa sehari-hari, hafalan
surat-surat pendek, hingga
sejarah Islam, dll.
Dari TPA ini saya mendapat modal dasar pengetahuan keagamaan pada masa kecil.
Masa remaja saya kembali
melanjutkan pendidikan agama di sebuah pondok pesantren. Karena ayah saya
adalah seorang aktivis Muhammadiyah, maka saya dimasukan ke sebuah pesantren
Muhammadiyah. Di pesantren saya belajar agama lebih dalam lagi.
Jika pada saat di TPA
saya hanya mengenal Islam itu ya Islam saja, saat pesantren saya mulai mengenal
bahwa Islam itu ada Muhammadiyah, ada NU dan ada PERSIS. Ya, Islam ternyata
tidak satu corak, namun ada beragam corak. Namun hal tersebut tak terlalu
masalah. Karena fokus saya adalah belajar agama, jadi tidak punya waktu untuk
fokus masalah perbedaan itu.
Sampai suatu ketika,
saat liburan sekolah, sehabis melakukan shalat, saya bertemu seseorang di masjid.
Seorang ini cukup unik karena berpakaian tidak biasa, menggunakan gamis dan
surban. Orang ini tiba-tiba mengajak ngobrol saya dan mengajak ke tempat
kawan-kawannya.
Saya melihat orang ini
baik bahkan sangat saleh. Maka dari itu saya tertarik dan tidak curiga apapun.
Benar saja saat sampai di komunitasnya saya menemukan suasana yang sangat
"islami". Saya merasa kembali hidup dengan sahabat nabi. Saya selalu
tanya ini organisasi apa? Mereka selalu tak mau jawab, pokoknya kami adalah
orang yang berdakwah katanya. Belakangan saya tahu nama komunitas ini adalah
Jamaah Tabligh.
Ada hal yang menarik
selama berinteraksi dengan mereka. Yakni terkadang mereka mengeluh tentang
amalan mereka yang suka disalah-salahkan oleh Salafi. Mereka mengeluh karena
dianggap melakukan bid'ah sambil mengeluarkan argumen untuk menguatkan mereka.
Saat masih kecil saya
membayangkan bahwa konflik pasti akan terjadi antara orang saleh dengan orang
jahat. Orang saleh saya bayangkan dengan penampilan alim seperti ulama, orang
jahat saya gambarkan seperti penjahat dalam film-film. Namun ternyata saya
salah, ulama ternyata bisa berkonflik dengan sesama ulama. Orang baik bisa
melawan orang baik.
Setelah itu saya mulai
rajin membaca tentang keragaman pemahaman dalam Islam. Ternyata walau Islamnya
satu namun pemahamannya sangat banyak dan kaya. Terkadang terjadi pertengkaran
yang sengit dalam perbedaan yang ada. Islam itu seperti gunung atau hutan,
dilihat dari jauh satu warna, namun jika kita masuk ke dalamnya kita akan
menemukan pohon-pohon yang berbeda.
Memahami keragaman Islam
sebenarnya bukan sesuatu yang wajib. Namun hari ini menjadi penting manakala
terdapat faham-faham Islam yang sempit. Faham ini ditandai dengan pemahaman
bahwa golongannya saja yang paling benar sembari menyesatkan dan mengkafirkan
yang lain. Islam bagi mereka adalah versi mereka saja, mereka tidak menerima
bahwa ada versi lain yang berbeda. Faham ini jelas tak sesuai dengan spirit agama
Islam yang otentik.
*Penulis adalah mahasiswa S2 UIN Bandung dan guru di Aisyiyah Boarding School, Bandung
*Penulis adalah mahasiswa S2 UIN Bandung dan guru di Aisyiyah Boarding School, Bandung
Sumber gambar: FB Grassroots Dakwah NYC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar