Tidak
ada isu yang paling hot hari ini selain seputar perpolitikan Indonesia
karena tema inilah yang paling mudah digoreng untuk meriuhkan suasana sekaligus
menjadi penambah pundi-pundi uang bagi pihak-pihak yang berkepentingan di
dalamnya. Dan tiada satu person yang paling tersoroti dalam hal ini selain
sosok fenomenal Rocky Gerung (RG) yang belakangan terpaksa harus terkena delik
atas pengaduan beberapa kalangan yang berkeberatan atas ucapannya mengenai
kefiksian kitab suci beberapa waktu lalu di acara Indonesia Lawyers Club (ILC).
Tentu
kita tidak bisa menyangkal adanya unsur-unsur politik di dalam kekontroversian
ini, tetapi pada kesempatan kali ini saya tidak akan membahas dan masuk ke
ranah politik, apalagi pendekatan hukum. Alih-alih murni berdasarkan analisis
ilmiah dari sudut pandang ilmu logika. Dan saya sangat berterima kasih kepada
Dr. Otong Sulaeman juga rekan-rekan peserta short course Filsafat Islam
yang telah memberikan pencerahannya.
Dari
serangkaian ucapannya di media, kita dapat mengatakan bahwa pernyataan
kontroversi RG didasarkan pada penalaran dua proposisi[1]
berikut: pertama, “fiksi mengaktifkan imajinasi” dan kedua “kitab suci
mengaktifkan imajinasi”. Dari dua proposisi ini kemudian diambil kesimpulan
bawa kitab suci itu fiksi. Model penalaran ini bertumpu tiga buah kata, yakni
“fiksi”, “kitab suci”, dan “mengaktifkan imajinasi”, yang dianggap RG satu sama
lain memiliki relasi.
Dalam
ilmu logika terdapat empat jenis relasi, yaitu ekuivalensi (bermakna sama
dengan simbol = ), diferensia (bermakna saling lepas dengan simbol ⊃⊂), umum-khusus absolut yang dalam
matematika disebut himpunan bagian (bersimbol ⊂), dan umum-khusus beririsan
(bersimbol ∩).
Untuk
pengambilan kesimpulan berdasarkan dua proposisi hanya dapat diambil secara
benar jika berada dalam dua kondisi: pertama, jika kedua pernyataan yang
dijadikan sebagai proposisi sama-sama memiliki relasi ekuivalensi. Sebagai
contoh, jika A ekuivalen dengan B; dan B ekuivalen dengan C, maka A ekuivalen
dengan C, atau kedua, jika kedua pernyataan membentuk silogisme deduktif
di mana ketiga konsep tersebut membentuk relasi umum-khusus absolut secara
bertingkat. Sebagai contoh, semua manusia mengalami kematian; Rocky Gerung
adalah manusia, maka simpulannya Rocky Gerung pasti mengalami kematian.
Sekarang
mari kita uji pernyataan RG dengan asumsi yang pertama (ekuivalen).Pertanyaan
mendasarnya ialah apakah di antara “fiksi” dan “mengaktifkan imajinasi” terjadi
relasi ekuivalensi? Jelas tidak! Mengaktifkan imajinasi bukanlah sifat
substansial dari fiksi melainkan sekadar sifat aksidentalnya. Kita tidak bisa
menyatakannya secara bolak-balik seperti “setiap fiksi mengaktifkan imajinasi”
dan “setiap yang mengaktifkan imajinasi adalah fiksi”
Dr.
Otong Sulaeman mengungkapkan, “setiap fiksi memang mengaktifkan imajinasi
tetapi yang dapat mengaktifkan imajinasi bukan hanya fiksi melainkan juga
biografi tokoh besar, foto seseorang, bahkan kuliah ilmiah seorang profesor”
Jadi, alih-alih berelasi ekuivalensi, “fiksi” dan “mengaktifkan imajinasi”
memiliki model relasi himpunan bagian [fiksi merupakan bagian dari hal-hal yang
dapat mengaktifkan imajinasi, tetapi tidak dengan sebaliknya].
Begitu
pun dengan relasi “kitab suci” dan “mengaktifkan imajinasi” karena keduanya
memiliki substasi yang berbeda. Daripada dianggap sebagai relasi ekuivalen, keduanya
lebih tepat memiliki relasi umum-khusus beririsan, karena harus diakui bahwa
ada sebagian kesamaan antara “kitab suci” dan “mengaktifkan imajinasi” seperti
perihal eskatologis.
Setelah
gagal lulus dalam ujian kondisi pertama, mari kita uji pertanyaan RG dengan
kondisi kedua (silogisme). Dr. Otong Sulaeman menggambarkan bahwa jika hendak
dipaksakan apa yang dikehendaki oleh RG maka penggambarannya adalah:
Dari
diagram ini terbaca bahwa premis pertamanya (mayor) sudah salah karena
terbalik, bukan “setiap yang mengaktifkan imajinasi adalah fiksi” tetapi yang
benar adalah “setiap fiksi mengaktifkan imajinasi”. Pun dengan premis keduanya
(minor) karena tidak semua isi kitab suci mengaktifkan imajinasi, melainkan
sebagiannya saja. Kalau pengujian kebenaran setiap premisnya saja sudah salah,
maka pengambilan keputusan hanya akan menimbulkan kesesatan simpulan.
Tidak
Seutuhnya Salah
Memang,
sebagaimana telah disampaikan di atas, jika dikaji dalam pandangan murni ilmu
logika, pernyataan RG jelas mengandung kecacatan, tetapi pertanyaannya apakah
kita mesti mengaplikasikan pernyataan baku sesuai kaidah ilmu logika di dalam setiap
perbincangan tatap muka?
Saya
beri contoh. Dalam suasana percakapan, Jaelani berkata bahwa Alquran adalah
obat. Dalam konteks ini saya yakin mitra bicaranya akan segera memahami maksud
yang dikehendakinya, bahwa Jaelani memang ingin mengatakan bahwa Alquran
mengandung unsur pengobatan/penyembuhan tanpa bermaksud bahwa esensi dari
Alquran itu sendiri adalah obat. Mitra bicaranya pun paham bahwa Jaelani
tidak sedang mengatakan bahwa keseluruhan isi Alquran—adalah obat—melainkan
sekadar untuk menyebut sebagiannya saja.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa mendengar kata-kata semacam “warga
Bekasi berdemo”, “Banser membakar bendera tauhid”, atau “Remaja tawuran” dan
langsung memahami bahwa yang dimaksud ialah bukan seluruh warga Bekasi berdemo
atau seluruh anggota Banser membakar bendera, atau seluruh remaja tawuran. Dan
memang itulah yang sedang dimaksudkan oleh bung Rocky. Ketika memberi contoh
kefiksian kitab suci beliau segera memberi contoh hal-hal yang berbau eksatologis
yang baginya memiliki padanan dengan fiksi karena keduanya sama-sama
mengaktifkan imajinasi. Apakah mengaktifkan imajinya termasuk substansi atau
sekadar aksidental, dalam sebuah percakapan redaksi ini sudah tidak terlalu
berpengaruh lagi.
Tetapi
harus diakui juga bahwa untuk pernyataan RG ini tidak bisa disamakan secara
total dengan contoh-contoh yang sudah saya berikan di atas, sebab beliau telah
berani masuk ke ranah yang dianggap sakral oleh, setidaknya, masyarakat
Indonesia, yaitu agama.
Bagi
mayoritas masyarakat Indonesia, hal-hal yang berbau agama, entah itu konsep
abstraknya, ritualistiknya, maupun
sekadar atribut keagamaannya, sama-sama bernilai suci sehingga kita harus
berhati-hati ketika membicarakannya—tentu saja berbeda dengan budaya di Barat
yang cenderung bebas dan terbuka.
Nah,
persoalannya ialah ketika RG mencoba untuk menyandingkan hal yang sakral dengan
sesuatu yang telah lazim dianggap berkonotasi negatif (fiksi). Redaksi fiksi
secara umum kita pahami sebagai sesuatu yang tidak faktual, karangan manusia,
memuat kepalsuan, cerita-cerita yang sulit untuk diverifikasi kebenarannya,
atau sebagaimana yang dipahami oleh RG—sesuatu yang mengaktifkan imajinasi.
Maka wajar ketika mereka mencoba untuk mengartikulasikan pemaknaan ini kepada
kitab sucinya masing-masing, muncul keberatan.
Ini
bagaikan ucapan, “Jackson itu pincang” yang meskipun secara fakta memang
demikian keadaannya, tetapi siapa yang mau dipanggil dengan sebutan yang
berkonotasi “negatif”? Orang-orang ribut mengenai kata pincang yang secara
lazim telah dipahami sebagai suatu redaksi yang kurang baik digunakan, tetapi
kemudian RG—dalam beberapa kesempatan—hendak menyampaikan bahwa pincang itu
bukanlah suatu redaksi yang berkonotasi buruk melainkan sebaliknya.
Di atas
semua perdebatan ini, setidaknya kita tetap harus berterima kasih kepada bung
Rocky yang telah memunculkan percakapan “kefilsafatan” dan “logika” di ranah
publik sehingga mulai hilanglah persepsi buruk mengenai filsafat atau logika
yang kadung dianggap ilmu sesat-menyesatkan, di luar konteks apakah ilmu
tersebut telah digunakannya secara benar atau salah.
Keterangan:
Tulisan ini sudah pernah diposting di website Qureta.com, dengan judul “Dilema
Ucapan Kitab Suci Fiksi”
Sumber gambar: Fajar.co.id
Referensi
Priatna, Tedi. (tt). Filsafat Ilmu: Pengantar untuk Memahami Mesin
Riset. PPT Bahan Ajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN SGD Bandung
[1] Suatu pernyataan
mengenai satu hubungan antara dua atau lebih konsep (dalam paradigma
positivistik). Sedangkan dalam penelitian kualitatif, proposisi dipahami
sebagai suatu pernyataan yang terdiri dari satu konsep atau lebih yang dapat
dibenarkan atau disalahkan (Priatna, tt: 30).
Tidak
ada isu yang paling hot hari ini selain seputar perpolitikan Indonesia
karena tema inilah yang paling mudah digoreng untuk meriuhkan suasana sekaligus
menjadi penambah pundi-pundi uang bagi pihak-pihak yang berkepentingan di
dalamnya. Dan tiada satu person yang paling tersoroti dalam hal ini selain
sosok fenomenal Rocky Gerung (RG) yang belakangan terpaksa harus terkena delik
atas pengaduan beberapa kalangan yang berkeberatan atas ucapannya mengenai
kefiksian kitab suci beberapa waktu lalu di acara Indonesia Lawyers Club (ILC).
Tentu
kita tidak bisa menyangkal adanya unsur-unsur politik di dalam kekontroversian
ini, tetapi pada kesempatan kali ini saya tidak akan membahas dan masuk ke
ranah politik, apalagi pendekatan hukum. Alih-alih murni berdasarkan analisis
ilmiah dari sudut pandang ilmu logika. Dan saya sangat berterima kasih kepada
Dr. Otong Sulaeman juga rekan-rekan peserta short course Filsafat Islam
yang telah memberikan pencerahannya.
Dari
serangkaian ucapannya di media, kita dapat mengatakan bahwa pernyataan
kontroversi RG didasarkan pada penalaran dua proposisi[1]
berikut: pertama, “fiksi mengaktifkan imajinasi” dan kedua “kitab suci
mengaktifkan imajinasi”. Dari dua proposisi ini kemudian diambil kesimpulan
bawa kitab suci itu fiksi. Model penalaran ini bertumpu tiga buah kata, yakni
“fiksi”, “kitab suci”, dan “mengaktifkan imajinasi”, yang dianggap RG satu sama
lain memiliki relasi.
Dalam
ilmu logika terdapat empat jenis relasi, yaitu ekuivalensi (bermakna sama
dengan simbol = ), diferensia (bermakna saling lepas dengan simbol ⊃⊂), umum-khusus absolut yang dalam
matematika disebut himpunan bagian (bersimbol ⊂), dan umum-khusus beririsan
(bersimbol ∩).
Untuk
pengambilan kesimpulan berdasarkan dua proposisi hanya dapat diambil secara
benar jika berada dalam dua kondisi: pertama, jika kedua pernyataan yang
dijadikan sebagai proposisi sama-sama memiliki relasi ekuivalensi. Sebagai
contoh, jika A ekuivalen dengan B; dan B ekuivalen dengan C, maka A ekuivalen
dengan C, atau kedua, jika kedua pernyataan membentuk silogisme deduktif
di mana ketiga konsep tersebut membentuk relasi umum-khusus absolut secara
bertingkat. Sebagai contoh, semua manusia mengalami kematian; Rocky Gerung
adalah manusia, maka simpulannya Rocky Gerung pasti mengalami kematian.
Sekarang
mari kita uji pernyataan RG dengan asumsi yang pertama (ekuivalen).Pertanyaan
mendasarnya ialah apakah di antara “fiksi” dan “mengaktifkan imajinasi” terjadi
relasi ekuivalensi? Jelas tidak! Mengaktifkan imajinasi bukanlah sifat
substansial dari fiksi melainkan sekadar sifat aksidentalnya. Kita tidak bisa
menyatakannya secara bolak-balik seperti “setiap fiksi mengaktifkan imajinasi”
dan “setiap yang mengaktifkan imajinasi adalah fiksi”
Dr.
Otong Sulaeman mengungkapkan, “setiap fiksi memang mengaktifkan imajinasi
tetapi yang dapat mengaktifkan imajinasi bukan hanya fiksi melainkan juga
biografi tokoh besar, foto seseorang, bahkan kuliah ilmiah seorang profesor”
Jadi, alih-alih berelasi ekuivalensi, “fiksi” dan “mengaktifkan imajinasi”
memiliki model relasi himpunan bagian [fiksi merupakan bagian dari hal-hal yang
dapat mengaktifkan imajinasi, tetapi tidak dengan sebaliknya].
Begitu
pun dengan relasi “kitab suci” dan “mengaktifkan imajinasi” karena keduanya
memiliki substasi yang berbeda. Daripada dianggap sebagai relasi ekuivalen, keduanya
lebih tepat memiliki relasi umum-khusus beririsan, karena harus diakui bahwa
ada sebagian kesamaan antara “kitab suci” dan “mengaktifkan imajinasi” seperti
perihal eskatologis.
Setelah
gagal lulus dalam ujian kondisi pertama, mari kita uji pertanyaan RG dengan
kondisi kedua (silogisme). Dr. Otong Sulaeman menggambarkan bahwa jika hendak
dipaksakan apa yang dikehendaki oleh RG maka penggambarannya adalah:
Dari
diagram ini terbaca bahwa premis pertamanya (mayor) sudah salah karena
terbalik, bukan “setiap yang mengaktifkan imajinasi adalah fiksi” tetapi yang
benar adalah “setiap fiksi mengaktifkan imajinasi”. Pun dengan premis keduanya
(minor) karena tidak semua isi kitab suci mengaktifkan imajinasi, melainkan
sebagiannya saja. Kalau pengujian kebenaran setiap premisnya saja sudah salah,
maka pengambilan keputusan hanya akan menimbulkan kesesatan simpulan.
Tidak
Seutuhnya Salah
Memang,
sebagaimana telah disampaikan di atas, jika dikaji dalam pandangan murni ilmu
logika, pernyataan RG jelas mengandung kecacatan, tetapi pertanyaannya apakah
kita mesti mengaplikasikan pernyataan baku sesuai kaidah ilmu logika di dalam setiap
perbincangan tatap muka?
Saya
beri contoh. Dalam suasana percakapan, Jaelani berkata bahwa Alquran adalah
obat. Dalam konteks ini saya yakin mitra bicaranya akan segera memahami maksud
yang dikehendakinya, bahwa Jaelani memang ingin mengatakan bahwa Alquran
mengandung unsur pengobatan/penyembuhan tanpa bermaksud bahwa esensi dari
Alquran itu sendiri adalah obat. Mitra bicaranya pun paham bahwa Jaelani
tidak sedang mengatakan bahwa keseluruhan isi Alquran—adalah obat—melainkan
sekadar untuk menyebut sebagiannya saja.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa mendengar kata-kata semacam “warga
Bekasi berdemo”, “Banser membakar bendera tauhid”, atau “Remaja tawuran” dan
langsung memahami bahwa yang dimaksud ialah bukan seluruh warga Bekasi berdemo
atau seluruh anggota Banser membakar bendera, atau seluruh remaja tawuran. Dan
memang itulah yang sedang dimaksudkan oleh bung Rocky. Ketika memberi contoh
kefiksian kitab suci beliau segera memberi contoh hal-hal yang berbau eksatologis
yang baginya memiliki padanan dengan fiksi karena keduanya sama-sama
mengaktifkan imajinasi. Apakah mengaktifkan imajinya termasuk substansi atau
sekadar aksidental, dalam sebuah percakapan redaksi ini sudah tidak terlalu
berpengaruh lagi.
Tetapi
harus diakui juga bahwa untuk pernyataan RG ini tidak bisa disamakan secara
total dengan contoh-contoh yang sudah saya berikan di atas, sebab beliau telah
berani masuk ke ranah yang dianggap sakral oleh, setidaknya, masyarakat
Indonesia, yaitu agama.
Bagi
mayoritas masyarakat Indonesia, hal-hal yang berbau agama, entah itu konsep
abstraknya, ritualistiknya, maupun
sekadar atribut keagamaannya, sama-sama bernilai suci sehingga kita harus
berhati-hati ketika membicarakannya—tentu saja berbeda dengan budaya di Barat
yang cenderung bebas dan terbuka.
Nah,
persoalannya ialah ketika RG mencoba untuk menyandingkan hal yang sakral dengan
sesuatu yang telah lazim dianggap berkonotasi negatif (fiksi). Redaksi fiksi
secara umum kita pahami sebagai sesuatu yang tidak faktual, karangan manusia,
memuat kepalsuan, cerita-cerita yang sulit untuk diverifikasi kebenarannya,
atau sebagaimana yang dipahami oleh RG—sesuatu yang mengaktifkan imajinasi.
Maka wajar ketika mereka mencoba untuk mengartikulasikan pemaknaan ini kepada
kitab sucinya masing-masing, muncul keberatan.
Ini
bagaikan ucapan, “Jackson itu pincang” yang meskipun secara fakta memang
demikian keadaannya, tetapi siapa yang mau dipanggil dengan sebutan yang
berkonotasi “negatif”? Orang-orang ribut mengenai kata pincang yang secara
lazim telah dipahami sebagai suatu redaksi yang kurang baik digunakan, tetapi
kemudian RG—dalam beberapa kesempatan—hendak menyampaikan bahwa pincang itu
bukanlah suatu redaksi yang berkonotasi buruk melainkan sebaliknya.
Di atas
semua perdebatan ini, setidaknya kita tetap harus berterima kasih kepada bung
Rocky yang telah memunculkan percakapan “kefilsafatan” dan “logika” di ranah
publik sehingga mulai hilanglah persepsi buruk mengenai filsafat atau logika
yang kadung dianggap ilmu sesat-menyesatkan, di luar konteks apakah ilmu
tersebut telah digunakannya secara benar atau salah.
Keterangan:
Tulisan ini sudah pernah diposting di website Qureta.com, dengan judul “Dilema
Ucapan Kitab Suci Fiksi”
Sumber gambar: Fajar.co.id
Referensi
Priatna, Tedi. (tt). Filsafat Ilmu: Pengantar untuk Memahami Mesin
Riset. PPT Bahan Ajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN SGD Bandung
[1] Suatu pernyataan
mengenai satu hubungan antara dua atau lebih konsep (dalam paradigma
positivistik). Sedangkan dalam penelitian kualitatif, proposisi dipahami
sebagai suatu pernyataan yang terdiri dari satu konsep atau lebih yang dapat
dibenarkan atau disalahkan (Priatna, tt: 30).